twitter


Penulis : Vivi Fauzia Gustiani
“Tiiiidiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiitt”, suara itu sering sekali aku dengar hari ini, kepala ini seperti menanggung beban berat, badan ini sudah tidak dialiri darah lagi. Aku melihat ke luar jendela, mobil-mobil saling mengantre mendapat bagian melewati jalan ini. Baju-bajuku terperangkap dalam kopor itu mengelilingi negeri ini. Cihampelas, Kembang, Lautan Api, Peuyeum, itulah yang aku tahu dari kota ke-4 yang akan ku tinggali semenjak aku mengenakan celana abu ini.
            “Raka bangun Ka!” terdengar suara seperti itu setiap pagi dengan tumbukan tangan dan kayu pintu itu. Badanku masih terasa lemas, alas empuk ini menahan badanku untuk berdiri tapi suara itu terdengar lagi. Aku berjalan menuju kayu persegi panjang yang berdiri kokoh itu dan membukanya. “Cepat Ka hari pertama sekolah” kata ibuku sambil tersenyum padaku. Hatiku menggerutu bosan dan lelah harus seperti ini saja, tapi tidak ada yang bisa kulakukan, ayahku seorang yang bekerja untuk Negara, ya beginilah tinggal juga diatur oleh Negara.
            Kepalaku tersandar pada kaca mobil ini, Surabaya, Makasar, Medan, tidak jauh dengan kota ini sama saja tapi kota ini lebih banyak kendaraan yang tidak beraturan. “Ka, hp kamu nyala tuh!” seseorang di bangku supir menyadarkan aku dari lamunanku. Aku mengambil benda kecil persegi panjang itu dari kantong celanaku “ka, gimana di bandung?kok gak ngasih kabar” aku hampir lupa mengabari sahabatku tadi malam aku tertidur saat sampai rumah. Setelah 5 bulan di medan rasanya berat meninggalkan Medan, hanya di Medan aku mendapat sahabat tapi terkadang dia berlebihan. Tapi hpku memang tidak mengizinkanku member kabar padanya, tidak ada pulsa untuk sms.
            Udara di Bandung memang lebih dingin, aku lupa menggunakan mantelku. Padahal hari pertama aku sekolah perutku sudah tak tahan, mana ku tahu toilet dimana sekolah ini besar sekali beda dengan sekolah-sekolahku sebelumnya. Langkahku terhenti saat melihat pintu yang berukuran berbeda dengan ruang kelas. Aku memasukinya dan rasanya perutku lebih nyaman. “aaaaaaaaaaaaaaaaa” suara bertubrukan dengan bantingan pintu. Aku membuka pintu dengan perasaan kesal, sekolah macam apa ini masa perempuan bisa masuk toilet laki-laki. “heh, gak sopan banget kamu masuk toilet cewek!” ocehan wanita itu sambil membasuhkan kedua tangannya di wastafel. Aku tersadar setelah melihat sekeliling ruangan ini ternyata ini toilet perempuan. Oh my God! Hari pertama sekolah memalukan sekali.
            “Aduh, maaf maaf, saya  murid baru disini, saya juga tadi udah mules banget jadi saya gak sadar masuk toilet cewek.” Aku mencoba menjelaskan padanya.
            “Oh murid baru, pindahan dari mana? Kelas berapa?Kenalkan aku Viona.” Wanita itu membalikan badannya dan tersenyum mengangkat tangannya yang terbuka seatas setengah badannya. Aku tak bisa berkata-kata wanita berkerudung itu tersenyum manis di depanku. Lamunanku tebangunkan oleh getaran dari saku celanaku. Leni, aku lupa mengabarinya dia meneleponku, wanita itu masih berdiri menatapku heran. Aku berlari keluar tanpa mengucapkan sepatah katapun padanya, rasanya mulutku membisu saat melihatnya.
            Leni marah padaku, aku merasa aneh padanya, dia sudah mempunyai pacar tapi dia masih saja mendekatiku dia bilang kita sahabat tapi kalau sahabat sedkat ini aku menjadi tidak nyaman. Waktu di medan aku selalu merasa malu pada Adoy, pacar leni terhadap tingkah laku Leni padaku.
            Aku berjalan menuju kantin bersama teman-temanku, aku melihat wanita itu sedang membaca buku di kelas sebelah kelasku, dia melirik keluar dan melambaikan tangan kepada Ryan, temanku. Aku menceritakan yang telah terjadi antara aku dan Viona kepada Ryan. Hentakan besar dihatiku saat Ryan mengatakan bahwa itu teman SMPnya.
            Beberapa minngu aku sekolah masih saja tidak bisa berbicara dengannya, aku hanya melihat dia dari jarak jauh. Nyaliku turun saat ingin mendekatinya. Tapi hari ini berbeda Ryan memang teman terbaik. Dia berbicara dengan Viona  di depan kelas saat aku datang dan memanggilku. Rupanya Viona masih mengenaliku, malu bercampur senang , kulitku mulai mengeluarkan keringat. “waktu itu pacarnya nelepon ya? buru-buru banget” senyuman itu masih ada saat ia berbicara. “bukan ko, temen aku dari Medan” aku tak bisa banyak mengeluarkan kata-kata didepannya.
            Sepertinya Ryan mengetahui perasaanku pada Viona dan betapa menyenangkan saat Ayahku bilang sepertinya kita akan tinggal di Bandung dalam waktu yang lama kemungkinan aku juga kuliah di Bandung. Viona, Viona, Viona aku bisa bersama Viona. Ryan selalu berusaha mendekatkanku dengan Viona. Tidak jarang ia menjebakku agar aku bisa makan dan pulang bersama Viona. Sampai akhirnya aku mengetahui bahwa sebenarnya Viona juga merasakan hal yang sama denganku meskipun tidak semebjak pertama bertemu tapi hati ini meloncat-loncat mengetahuinya meskipun Ryan yang mengatakannya.
            Mungkin ini juga salah satu cara agar aku bisa menjauhi Leni, ia masih saja menghubungiku. Akhirnya aku menemukan seseorang yang benar-benar aku cintai, aku berusaha mengungkapkan perasaanku pada Viona. Hari ini Ayahku membelikanku motor dan wanita berkerudung dengan senyuman manis itu akan menjadi orang pertama bersamaku di motor ini. Aku mengajaknya pergi dan mengungkapkan perasaanku pada Viona. Hari ini 11Mei2011, aku berhasil menjadi bagian hidupnya Viona.
            “Ka, hpmu nyala sms kayanya.” Ucap Viona di belakang badanku.
            “Buka aja Na, palingaan Ryan.” Viona mengambil hpku dari tasku, “berhenti Ka!” Aku heran mengapa tiba-tiba Viona seperti itu. Aku menginjak rem motor ini, Viona turun dari motorku da memberikan hpku, “aku gak mau jadi pacar kamu!” Viona pergi aku mencoba mengejarnya tapi taksi itu mendahuluiku datang, aku melihat hpku “Ka, lagi apa? Kangen nih” Leni kamu memang tidak tahu malu, aku menyesal telah mengatakan sahabat kepadanya.
            Aku mencoba menghubungi Viona tapi tidak pernah ada jawaban disekolah juga susah sekali untuk bertemu dengannya, ia selalu menjauhiku. Aku juga belum mengatakan apa-apa pada Leni. Ryan juga terlihat berbeda sekali padaku, sepertinya Viona telah menceritakan semuanya pada Ryan. Aku mencoba berbicara pada Ryan tapi sulit. Hp ini telah berisikan kata-kata penjelasanku kepada Ryan, ini satu-satunya cara yang bisa kulakukan.
            Ryan dan Viona berbinacang di depan kelasku, aku memberanikan diri untuk menghampiri mereka. “nih ada Viona, jelasin sekarang!” Muka arogan itu asih nampak. Aku menjelaskan semuanya pada Viona dan ini terkahir kalinya aku menghubungi Leni untuk membuktikan penjelasanku kepada mereka. Aku tersentak saat mengetahui Leni itu mencintaiku tapi dia sudah punya pacar tidak pantas ia seperti itu. Aku mengambil pelajaran dari kota-kota yang ku singgahi. Kurang baik mempunyai sahabat yang berlainan jenis, karena kedekataannya bisa seperti ini dan menghancurkan kata persahabatan. Tapi disisi lain aku bisa menjadi bagian penting kembali untuk Viona.

0 komentar:

Posting Komentar